Friday, March 2, 2012

Ijtihad : Optimalisasi potensi akal

Pentingnya akal diletakan sebagai sumber hokum setelah Al-Qur’an dan hadist, karena budaya manusia yang berkembang dari waktu ke waktu yang menuntut hokum-hukum untuk berkembang pula. Oleh karena itu banyak masalah yang dihadapi manusia yang jawabannya belum tercantum secara eksplisit dalam teks-teks Al-Qur’an dan Hadist. Untuk menjawab permasalahan manusia diperlukan pemikiran dan kerja akal yang mendalam sehingga kebutuhan manusia terhadap hokum islam dapat terpenuhi.

Karena itu, Islam memperkenalkan dasar ketiga setelah Al-Qur’an dan hadist yaitu akal atau rakyu, atau disebut juga dengan istilah ijtihad.

Ijtihad adalah menggunakan akal dalam menetapkan hokum yang belum diatur oleh Al-Qur’an dan hadist. Dalam praktiknya, ijtihad tidak keluar dari Al-quran dan hadist sebagai sandaran utama, hanya saja dalam operasionalnya menggunakan pendekatan akal. Metode yang digunakan dalam ijtihad antara lain qiyas, yaitu mengukur hokum yang belum atau akan ditetapkan dengan hokum yang telah ditetapkan. Misalnya zakat padi diukur dengan zakat gandum yang hukumnya ditetapkan Hadist.

A. Definisi Ijtihad

Secara bahasa Ijtihad berarti bersungguh-sungguh dalam suatu urusan. Secara istilah diartika n mengeluarkan segala daya dan kemampuan dalam usaha mengetahui suatu hokum syara.

Definisi lainnya, ijtihad adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh seorang mujtahid, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja selaras dengan kepakaran untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam al-qur’an maupun hadist dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan yang matang.

Ijtihad lebih dikenal sebagai urusab fiqih. Para ulama berbeda pendapat tentang suapa saja yang boleh berijtihad. Sebagian ulama ada yang mendorong orang awam untuk taklid kepada imam madzhab, sementara kaum modernis dan salafi mendorongnya untuk berijtihad atau sekurang-kurangnya ittiba’.

Tujuanya adalah untuk mencapai sebuah keputusan atau kesimpulan hokum syarak mengenai suatu kasus hokum yang penyelesaiannya belum tertera dalam al-qur’an dan hadist.

Dalil yang menunjukan kehujjahan ijtihad ini adalah hadist yang diriwayatkan dari Muadz bin Jabal.

B. Kapan ijtihad diperlukan

Tidak semua hal dalam kkehidupan manusia diatur secara rinci dalam al-qur’an maupun hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan seperti pada saat turunnya al-qur’an dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam kehidupan beragama. Namun, hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa ijtihad dilakukan tidak keluar dari Al-qur’an dan hadist, serta objeknya tidak berkaitan dengan hokum yang telah ditetapkan secara qath’i.

C. Kedudukan Ijtihad

Berbeda dengan Al-qur’an dan hadist, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

1. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak melahirkan keputusan yang mutak. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relative. Sebagai produk pikiran manusia yang relative maka keputusan suatu ijtihad pun relative.

2. Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku untuk seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa atau tempat tapi tidak berlaku pada masa atau tempat yang lain.

3. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah, sebab urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Maka ijtihad dalam pelaksanaan shalat dua bahasa itu tidak dapat dibenarkan, begitu pula wanita yang menjadi imam shalat bagi laki-laki.

4. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-qur’an dan hadis.

5. Dalam proses berijtihad hendaklah dipertimbangkan factor-faktor motivasi, akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama, dan nilai-nilai yang menjadi cirri dan jiwa ajaran Islam.

D. Metodologi ijtihad

1. Qiyas

Qiyas menurut para ahli ushul fiqih adalah menetapkan suatu hokum “baru” yang belum ada nashnya dengan hokum yang sudah “ada” nashnya karena persamaan ‘illat hokum (maksud dan tujuan hokum) dari kedua peristiwa itu. Contoh : Zakat dengan beras, sementara hokum asalnya dengan gandum dengan illat sama-sama makanan pokok. Contoh lain melototi dan menempeleng orang tua, nash yang sudah ada adalah tidak boleh mengatakan “cis” atau “ah” kepada orang tua (QS. 17:23). Maksud dan tujuan mengatakan “cis” atau “ah” kepada orang tua adalah larangan menyakiti orang tua. Melototi dan menempeleng adalah perbuatan yang menyakiti.

2. Istihsan

Istihsan merupakan perluasan dari qiyas, yang dimaksud istihsan adalah meninggalkan qiyas jalli (qiyas nyata) untuk menjalankan qiyas khafi (qiyas samar-samar) atau meninggalkan hokum kulli (hokum umum) untuk menjalankan hokum istisna’I (pengecualian) disebabkan ada dalil logika yang membenarkannya. Contoh dalam jual-beli, Islam membenarkan jual-beli bila barangnya sudah benar-benar ada. Islam melarang praktek salam, yakni bayar duluan sementara barang belakangan agar tidak terjadi kecurangan. Namun seiring perkembangan zaman dan system transaksi bisnis bergerak lebih cepat, seringkali produsen tidak sanggup menyediakan barang karena keterbatasan modal. Atas dasar kebutuhan dan kepercayaan, pelanggan akhirnya membayar duluan, sementara barang yang dipesan baru diproduksi setelah membayar (penuh atau sebagian). Pembayaran seperti ini merupakan “pengecualian” dari salam yang umum.

3. Maslahah Murshalah

Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada nashnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemadharatan. Contohnya adanya penjara, memilih pemimpin meskipun tidak ada yang ideal menurut islam.

4. Urf (adat kebiasaan)

Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan principal dalam Al-qur’an dan hadist. Contoh: belanja di supermarket tanpa ada ijaba qabul secara lisan dengan lafal yang jelas, karena ketika pembeli memilih barang dan membayarnya di kasir sebenarnya terjadi ijab qabul. Hokum urf-lah yang menetapkan sahnya jual-beli demikian. Namun, tidak semua urf itu baik, ada juga yang buruk. Contoh ijon. Praktik riba ini sudah menjadi adat kebiasaan masyarakat, tetapi hokum syara mengharamkan riba. Karena itu, praktek ijon tidak dibenarkan dalam Islam.


Sumber:

Burhanuddin TR dan Sopian, A. (2009). Kajian Islam (sebuah Pengantar). Subang: Royyan Press.

0 komentar:

Post a Comment