KANDUNGAN Q.S ASY-SYUURA AYAT 13
DAN Q.S AL-ANBIYAA AYAT 25
(TENTANG AQIDAH)
A. Terjemahan Harfiah
1. Q.S Asy-Syuura Ayat 13
* tíu° Nä3s9 z`ÏiB ÈûïÏe$!$# $tB 4Ó»ur ¾ÏmÎ/ %[nqçR üÏ%©!$#ur !$uZøym÷rr& y7øs9Î) $tBur $uZø¢¹ur ÿ¾ÏmÎ/ tLìÏdºtö/Î) 4ÓyqãBur #Ó|¤Ïãur ( ÷br& (#qãKÏ%r& tûïÏe$!$# wur (#qè%§xÿtGs? ÏmÏù 4 uã9x. n?tã tûüÏ.Îô³ßJø9$# $tB öNèdqããôs? Ïmøs9Î) 4 ª!$# ûÓÉ<tFøgs Ïmøs9Î) `tB âä!$t±o üÏökuur Ïmøs9Î) `tB Ü=Ï^ã ÇÊÌÈ
Artinya :
“Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).”
2. Q.S Al-Anbiyaa Ayat 25
!$tBur $uZù=yör& `ÏB Î=ö6s% `ÏB @Aqß§ wÎ) ûÓÇrqçR Ïmøs9Î) ¼çm¯Rr& Iw tm»s9Î) HwÎ) O$tRr& Èbrßç7ôã$$sù ÇËÎÈ
Artinya :
|
B.
|
1. Tafsir Q.S Asy-syuura ayat 13
a. Hubungan Antara Aqidah dan Syariat
Termasuk perkara yang secara pasti telah diketahui dalam agama Islam, bahwa (agama Islam) meliputi ‘Aqidah dan Syari’at, ilmu dan amal. Keduanya merupakan kesatuan. Memisahkan di antara keduanya merupakan kesesatan yang nyata.
1). Definisi Aqidah
Secara bahasa, ‘aqidah berasal dari kata al ‘aqdu. Artinya: mengikat, memutuskan, menguatkan, mengokohkan, keyakinan dan kepastian. Adapun secara istilah, ‘aqidah memiliki makna umum dan khusus.
Makna ‘aqidah secara umum adalah, keyakinan kuat yang tidak ada keraguan bagi orang yang meyakininya, baik keyakinan itu haq maupun batil. Sedangkan ‘aqidah dengan makna khusus adalah, ‘aqidah Islam, yaitu: pokok-pokok agama dan hukum-hukum pasti, yang berupa keimanan kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para nabi-Nya, hari akhir, serta beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk, serta perkara lainnya yang diberitakan oleh Allah dalam al Quran dan oleh Rasul-Nya di dalam hadits-hadits yang sahih. Termasuk aqidah Islam, yaitu kewajiban-kewajiban agama dan hukum-hukumnya yang pasti. Semuanya itu wajib diyakini dengan tanpa keraguan.
2). Definisi Syari’at
Secara bahasa, syari’at berasal dari kata asy syar’u. Yang memiliki arti: membuat jalan, penjelasan, tempat yang didatangi, dan jalan. Adapun secara istilah, syari’at memiliki makna umum dan khusus.
Makna syari’at secara umum adalah, agama yang telah dibuat oleh Allah, mencakup ‘aqidah (keyakinan) dan hukum-hukumnya. Sebagaimana tersebut dalam firman Allah Ta’ala:
Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (Asy Syuura/42 :13)
Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan dari as-Suddi tentang firman Allah Ta’ala “Dialah yang telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh”, dia berkata: “(Maksudnya) yaitu agama semuanya.
Sedangkan makna syari’at secara khusus, yaitu peraturan yang dibuat oleh Allah yang berupa hukum-hukum, perintah-perintah, dan larangan-larangan. Hal ini seperti firman Allah Ta’ala:
“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (Al Maa’idah/5 :48)
Telah diketahui bahwa maksud syari’at (aturan) dalam ayat ini adalah peraturan-peraturan, bukan ‘aqidah. Karena ‘aqidah seluruh nabi semua sama, sedangkan peraturannya berbeda-beda sesuai dengan keadaannya.
Dengan demikian kita mengetahui, bahwa syari’at memiliki makna umum dan khusus. Jika syari’at di sebut sendiri, maka yang dimaksudkan adalah makna umum, yaitu agama Islam secara keseluruhan. Sebaliknya, jika syari’at disebut bersama ‘aqidah, maka yang dimaksudkan adalah makna khusus, yaitu hukum-hukum, perintah-perintah, dan larangan-larangan dalam masalah agama yang bukan ‘aqidah (keyakinan).
|
Istilah ‘aqidah, jika disebut secara umum (sendirian), berarti menyangkut pokok-pokok dan hukum-hukum syari’at dan keharusan dalam mengamalkannya. Sebagaimana istilah syari’at. Jika disebut secara umum (sendirian), maka itu menyangkut perkara-perkara keimanan dan pokok-pokok serta hukum-hukum syari’at yang pasti, yaitu ‘aqidah. Sebagaimana di atas telah dijelaskan dari firman Allah Ta’ala:
|
Dengan demikian, maka ‘aqidah dan syari’at merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana telah diketahui bahwa iman itu meliputi keyakinan dan amalan. Keyakinan inilah yang di sebut dengan ‘aqidah, dan amalan ini yang disebut syari’at. Karena memang iman itu, jika disebutkan secara mutlak (sendirian) maka ia mencakup keyakinan dan amalan, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” ( Al Hujuraat/49 : 15)
Juga firman-Nya:
“Ini adalah sebuah kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya, supaya kamu memberi peringatan dengan kitab itu (kepada orang kafir), dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman. Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya[528]. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). Betapa banyaknya negeri yang telah Kami binasakan, maka datanglah siksaan Kami (menimpa penduduk)nya di waktu mereka berada di malam hari, atau di waktu mereka beristirahat di tengah hari.” (Al A’raaf/7 : 2-4)
Dan ayat-ayat lain yang menunjukkan, bahwa iman itu terdiri dari keyakinan dan amalan.
2. Tafsir Q.S Al Anbiyaa ayat 25
!$tBur $uZù=yör& `ÏB Î=ö6s% `ÏB @Aqß§ wÎ) ûÓÇrqçR Ïmøs9Î) ¼çm¯Rr& Iw tm»s9Î) HwÎ) O$tRr& Èbrßç7ôã$$sù ÇËÎÈ
|
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Ilah (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian.”
رَسُوْلٍ .a
“Seorang rasul.” Yang dimaksud rasul di dalam ayat ini bersifat umum, meliputi setiap yang diutus Allah Subhanahu wa Ta’ala baik dari kalangan para nabi maupun rasul. Sedangkan secara istilah, terdapat perbedaan antara makna nabi dan rasul. Sebab rasul memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari nabi, atau dengan ungkapan lain bahwa setiap rasul pasti seorang nabi namun tidak setiap nabi memiliki gelar sebagai rasul.
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan keduanya. Sebagian ada yang mengatakan perbedaan di antara keduanya adalah bahwa nabi adalah seseorang yang diberi wahyu oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala namun tidak diperintahkan untuk menyampaikan kepada umatnya. Sedangkan rasul adalah seorang yang diberi wahyu oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diperintahkan untuk menyampaikan kepada umatnya. Pendapat ini dijadikan sandaran oleh Al-Baihaqi dan yang lainnya.
Ada pula yang mengatakan bahwa nabi adalah seorang yang diutus dengan membawa syariat dan diperintahkan untuk disampaikan kepada kaum yang telah siap menerimanya, atau tidak diperintahkan untuk menyampaikannya. Sedangkan rasul adalah seseorang yang diutus dengan membawa syariat dan diperintahkan untuk menyampaikan kepada kaum yang menyelisihinya.
|
“Kami wahyukan”, dengan huruf nun di depan. Ini berdasarkan qira`ah Hamzah, Hafsh, dan Al-Kasa`i. Adapun yang lainnya membaca dengan lafadz (يُوحَى) (diwahyukan kepadanya) dengan bentuk majhul yang didahului dengan huruf ya. (Al-Qurthubi dan Al-Baghawi)
Wahyu yang dimaksud di dalam ayat ini adalah kabar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba yang memang dikehendaki-Nya berupa hidayah dengan cara cepat dan tersembunyi. Definisi ini dibawa kepada setiap wahyu yang ditujukan kepada para nabi dan rasul-Nya. Wahyu memiliki makna selain yang tersebut di atas, di antaranya:
· Wahyu yang bermakna ilham dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada fitrah manusia, seperti wahyu yang ditujukan kepada Ibu Nabi Musa ‘alaihissalam.
وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوْسَى أَنْ أَرْضِعِيْهِ
“Dan Kami wahyukan (ilhamkan) kepada ibu Musa: ‘Susuilah dia’.” (Al-Qashash: 7)
· Wahyu yang bermakna ilham yang diperuntukkan bagi watak dan tabiat hewan tertentu, seperti wahyu yang diberikan kepada lebah dalam firman-Nya:
وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوْتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُوْنَ
“Dan Rabbmu mewahyukan kepada lebah: ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia’.” (An-Nahl: 68) [Lihat kitab Mabahits fi ‘Ulumil Qur`an karangan Manna’ Al-Qaththan hal. 26-27, Maktabah Wahbah, cet. ke-12]
|
“Sembahlah Aku.” Maknanya adalah “tauhidkanlah Aku.” Setiap lafadz di dalam Al-Qur`an yang menyebutkan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maka maknanya adalah mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam peribadahan kepada-Nya. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/58)
Adapun makna ibadah secara istilah adalah nama yang mencakup setiap apa yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diridhai-Nya, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang lahir dan yang batin. (Majmu’ Al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah, 10/149)
C. Kajian terkait isi ayat Al-Qur’an
Ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulia ini menjelaskan bahwa risalah yang dibawa oleh setiap nabi dan rasul adalah satu, yang menjadi inti dakwah mereka. Yaitu menyeru umatnya untuk beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meninggalkan segala jenis peribadahan kepada selain-Nya
Al-Imam Ath-Thabari mengatakan ketika menjelaskan surat Al-Anbiya ayat 25: “Tidaklah Kami utus sebelum engkau seorang rasul kepada satu umat dari umat-umat yang ada, wahai Muhammad, melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan di langit dan bumi, yang benar penyembahan kepadanya kecuali hanya Aku. Maka sembahlah Aku, ikhlaskan ibadah hanya untuk-Ku, sendirikan Aku dalam uluhiyyah (penyembahan).” (Tafsir At-Thabari)
Al-Munawi berkata dalam Al-Faidhul Qadir (3/62): “Yaitu pokok agama mereka satu yakni tauhid, dan cabang syariat mereka berbeda-beda. Tujuan diutusnya para nabi yaitu membimbing seluruh makhluk diserupakan dengan ayah yang satu, sedangkan syariat mereka yang berbeda bentuk dan tingkatannya diserupakan dengan para ibu. Al-Qadhi berkata: ‘Kesimpulannya bahwa tujuan utama dari sebab diutusnya mereka semua adalah mengajak seluruh makhluk untuk mengenal kebenaran dan membimbing mereka menuju sesuatu yang mengatur kehidupan dunianya, serta memperbaiki hari di saat mereka kembali. Mereka sama dalam pokok ajaran ini, meskipun berbeda-beda dalam cabang-cabang syariat.
|
BAB III
SIMPULAN
Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang intinya adalah iman dan amal.
Iman mencerminkan aqidah dan pokok-pokok yang menjadi landasan syariat islam. Dan dari dasar-dasar ini keluarlah cabang-cabangnya. Amal mencerminkan syari’ah dan cabang-cabang yang dianggap sebagai tindak lanjut iman dan aqidah.
Iman dan amal, atau aqidah dan syari’ah keduanya berkaitan satu sama lain seperti keterkaitan antara buah dengan pohonnya, atau keterkaitan akibat dengan sebab-sebabnya, konklusi dengan premisnya.
|
DAFTAR PUSTAKA
Sabiq,S. (2008). Aqidah Islamiyah. Jakarta: Robbani Press.
http://muwahiid.wordpress.com/2007/05/24/tafsir-al-anbiya25/
http://abibakarblog.com/agama/hubungan-antara-aqidah-dan-syariat/
|
0 komentar:
Post a Comment